Total Tayangan Halaman

Minggu, 16 Juni 2013

Menelisik Sisi Lain dari Hutan Lindung Sungai Wain


Setahun sudah aku tinggal di Balikpapan. Namun baru kali ini kesampaian jalan-jalan ke Hutan Lindung Sungai Manggar (HLSW) dan merasakan langsung suasana alami HLSW yang masih terjaga.
“ Sambil menyelam minum air”. Mungkin itulah peribahasa yang cocok untuk perjalanan hari ini. Niat awal mengunjungi HLSW adalah untuk mencari tahu kehidupan masyarakat Suku Paser, penduduk asli Kota Balikpapan yang dijadikan objek penelitian adik-adik kali ini.



HLSW yang aku ketahui pertama kali ketika mengikuti program On The Job Training (OJT) di RU V Balikpapan tahun 2010 lalu sebagai sumber air tawar utama untuk kebutuhan proses di kilang maupun air minum di kompleks Pertamina. Pada saat itu, salah seorang yang bertugas di Water Treatment Plant (WTP) Pancur merekomendasikan kami untuk mengunjungi Rumah Pompa Sungai Wain, namun karena keterbatasan waktu dan tidak ada kendaraan untuk ke sana, kami tidak jadi berkunjung ke lokasi itu. Kemudian beberapa bulan yang lalu, HLSW kembali menarik perhatianku karena waktu itu adik-adik (Ivan & Nisa) mengambil judul Kebijakan Pembangunan Jembatan Pulau Balang sebagai judul karya tulis mereka yang akhirnya berhasil meraih juara I dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah yang dilaksanakan Badan Lingkungan Hidup Kota Balikpapan. Hampir 75% isi karya tulis itu membicarakan HLSW dan Kebun Raya Balikpapan. Nah, ini tadi akhirnya kesampaian juga melihat langsung HLSW yang “terkenal” itu.

Agak heran juga pertama kali masuk ke kawasan HLSW ini. Di tempat yang cukup jauh dari jalan utama Balikpapan-Samarinda ini ternyata cukup banyak juga penduduknya.  Menurut informasi dari Pak Agus, petugas di Pusat Informasi HLSW yang menemani kami sekaligus menjadi narasumber adik-adik dalam mengumpulkan data mengenai Suku Paser, rupanya mayoritas penduduk di sana adalah Suku Paser. Bahkan di dalam Hutan di sana terdapat makam yang dikeramatkan warga setempat, yang dipercaya merupakan makam pejuang islam yang dulu ikut berjuang di tanah Suku Paser tersebut. Meskipun baru saja terjadi tragedi yang sangat disesalkan oleh masyarakat setempat yaitu pencurian harta karun yang dipercaya ikut dikubur di makam tersebut.

Rumah Suku Paser Balik
Singkat cerita nama kota Balikpapan ini berasal dari dua kata yakni Balik dan Papan. Nama ini diambil dari legenda Kayun Kuleng dan Papan Ayun. Suku asli yang mendiami tanah Balikpapan ini adalah suku Paser Balik. Suku Paser sendiri terbagi dalam beberapa sub suku yang tersebar dari kawasan Balikpapan hingga ke Penajam dan Paser. Suku Paser Balik yang masih menetap di Balikpapan tinggal di daerah Manggar. Hari Sabtu kemarin, kami sempat berkunjung ke sana dan bertemu dengan beberapa “sesepuh” suku yang akhirnya memberikan berbagai macam informasi mulai dari sejarah keberadaan Suku Paser, adat istiadatnya, bahasa, dan lain sebagainya. Dari kunjungan kami kemarin, aku bisa menilai bahwa memang benar sesuai filosofi hidup mereka yaitu berdiri “sama tinggi, duduk sama rendah”, kehidupan mereka sangat bersahaja. Bahkan suku asli Paser cenderung pemalu. Mereka lebih memilih untuk hidup menjauh dari keramaian, masuk ke hutan, hidup berladang dan sebagainya.

Suku Paser memiliki adat menghormati tamu dengan sebaik-baiknya. Kalau sudah ada janji untuk bertemu, maka mereka akan meluangkan waktu mereka untuk menunggu dan menyambut tamu mereka sampai tamu yang dimaksud datang, bahkan meskipun hingga larut malam. Ada tradisi unik yang dilakukan mereka untuk menyambut tamu, salah satunya adalah ketika mereka menyambut tamu yang “sederajat” maka mereka akan menawarkan rokok kepada sang tamu. Yang unik adalah rokok tersebut terbuat dari daun nipah muda yang dikeringkan kemudian diisi dengan rajangan tembakau kering racikan mereka sendiri. Dahulu, mereka akan menyambut tamu dengan tari-tarian adat mereka jika tamu yang datang adalah tamu yang mereka hormati.

Dan satu lagi, dalam adat mereka, tamu tidak akan dibiarkan “kelaparan”. Maksudnya, jika memang sudah waktunya makan, tamu akan disilakan ikut makan dengan tuan rumah dan itu merupakan suatu keharusan bagi sang tamu untuk “menyantap” hidangan yang mereka sediakan.  Tradisi menyantap itu pun ada yang unik. Yakni dapat dilakukan dengan isyarat menyentuh makanan tersebut. Jadi jangan takut kalau memang sudah kenyang atau buru-buru mau pergi ketika diajak makan, bisa dengan isyarat menyentuh setiap jenis makanan yang disediakan itu dianggap sudah “menyantap” bagi warga Suku Paser. Bagi yang menolak, konsekuensinya bisa terjadi “kepuhunan” atau dalam bahasa mereka disebut “tapen” atau mungkin dalam istilah jawa adalah “sawanen”. Bedanya, untuk di Suku Paser ini semua orang bisa mengalami “tapen” tidak pandang usia.

Kami sempat disuguhi musik dan tarian ronggeng khas Suku Paser sebelum pulang. Sekalian untuk dokumentasi seru juga. Uniknya, Pak Cali, yang sudah berumur 70-an tahun masih dengan terampil memainkan gambus, semacam gitar mereka dengan irama khas melayu dan paser. Memang dalam berbagai hal, suku Paser ini banyak dipengaruhi oleh tradisi islam dan melayu dari para pedagang yang waktu itu berdagang di Teluk Balikpapan ini.

Kembali ke HLSW, di sana kami melanjutkan interview dengan Pak Agus mengenai adat istiadat Suku Paser. Kami ditunjukkan beberapa hasil kerajinan asli Suku Paser dan beberapa perlengkapan untuk kegiatan ritual adat. Di lingkungan yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung tersebut, kearifan budaya Suku Paser masih terjaga. Dengan kebersahajaan mereka, mereka turut menjaga kelestarian lingkungan HLSW yang selain menjadi paru-paru bagi kawasan di Balikpapan dan sekitarnya dengan berbagai satwa yang selalu dipantau oleh para petugas di HLSW seperti Pak Agus, HLSW ini juga memegang peranan penting dalam keberlangsungan produksi Kilang Pertamina Balikpapan. Karena dengan terjaganya kelestarian hutan di HLSW tersebut, cadangan air tanah untuk kebutuhan proses senantiasa terpenuhi.

Pak Agus yang memang telah lama aktif dalam mengupayakan pelestarian budaya Suku Paser juga ikut menjadi pelopor dalam pelestarian kawasan hutan lindung dengan berbagai aneka satwanya. Sebagaimana yang telah dibuat di km. 23, yakni Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup yang di dalamnya terdapat beberapa ekor beruang madu, di HLSW tersebut juga masih menyimpan potensi satwa yang beberapa di antaranya jumlahnya semakin langka di HLSW. Salah satu satwa yang menjadi fokus perhatian Pak Agus dan kawan-kawan di HLSW tersebut adalah merak kerdil. Mereka mengidentifikasi keberadaan salah satu unggas tersebut dengan suaranya. Pak Agus dan kawan-kawan tahu betul berbagai jenis suara burung yang ada di HLSW tersebut. Kami sempat ditunjukkan salah satu software yang menyimpan berbagai informasi mengenai burung lengkap dengan gambar dan suaranya sehingga hal itu dapat membantu mereka dalam memantau satwa khususnya burung yang ada di HLSW.

Mengenai hasil penelitian tentang Suku Paser, mungkin lain waktu akan lanjut dibahas kembali menunggu hasil karya tulis selesai serta beberapa video dokumentasi kami compile terlebih dahulu. Itulah sedikit cerita yang akhirnya membuat aku ingin kembali ke HLSW lagi untuk bisa menikmati suasana yang asri dan tenang, dengan aroma hutan yang khas, kicauan burung yang menenangkan, dan masih banyak cerita yang ingin aku dengar dari teman-teman yang aktif di berbagai pos pemantauan HLSW tersebut.









Alat Musik Suku Paser - Gendang

Alat Musik Suku Paser - Gung



[Sumber: Dokumentasi Pribadi]








2 komentar :

sengkatel mengatakan...

Buen,, thanks gan sudah menulis tentang suku paser balik yang ada di sungai wain...

fromesa mengatakan...

sip bro, senang kalau bisa bermanfaat, kalau ada saran kritik silakan disampaikan, atau mungkin bro Fadliansyah AR memiliki data yang lebih lengkap mengenai Suku Paser Balik. Saya siap menampung informasinya :)

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management