Setahun sudah aku tinggal di
Balikpapan. Namun baru kali ini kesampaian jalan-jalan ke Hutan Lindung Sungai
Manggar (HLSW) dan merasakan langsung suasana alami HLSW yang masih terjaga.
“ Sambil menyelam minum air”. Mungkin
itulah peribahasa yang cocok untuk perjalanan hari ini. Niat awal mengunjungi
HLSW adalah untuk mencari tahu kehidupan masyarakat Suku Paser, penduduk asli
Kota Balikpapan yang dijadikan objek penelitian adik-adik kali ini.
Agak heran juga pertama kali masuk ke kawasan
HLSW ini. Di tempat yang cukup jauh dari jalan utama Balikpapan-Samarinda ini
ternyata cukup banyak juga penduduknya. Menurut
informasi dari Pak Agus, petugas di Pusat Informasi HLSW yang menemani kami
sekaligus menjadi narasumber adik-adik dalam mengumpulkan data mengenai Suku
Paser, rupanya mayoritas penduduk di sana adalah Suku Paser. Bahkan di dalam
Hutan di sana terdapat makam yang dikeramatkan warga setempat, yang dipercaya
merupakan makam pejuang islam yang dulu ikut berjuang di tanah Suku Paser
tersebut. Meskipun baru saja terjadi tragedi yang sangat disesalkan oleh
masyarakat setempat yaitu pencurian harta karun yang dipercaya ikut dikubur di
makam tersebut.
Rumah Suku Paser Balik |
Singkat cerita nama kota
Balikpapan ini berasal dari dua kata yakni Balik dan Papan. Nama ini diambil dari legenda Kayun Kuleng dan Papan Ayun. Suku asli yang mendiami tanah Balikpapan ini adalah suku Paser
Balik. Suku Paser sendiri terbagi dalam beberapa sub suku yang tersebar dari
kawasan Balikpapan hingga ke Penajam dan Paser. Suku Paser Balik yang masih
menetap di Balikpapan tinggal di daerah Manggar. Hari Sabtu kemarin, kami
sempat berkunjung ke sana dan bertemu dengan beberapa “sesepuh” suku yang
akhirnya memberikan berbagai macam informasi mulai dari sejarah keberadaan Suku
Paser, adat istiadatnya, bahasa, dan lain sebagainya. Dari kunjungan kami
kemarin, aku bisa menilai bahwa memang benar sesuai filosofi hidup mereka yaitu
berdiri “sama tinggi, duduk sama rendah”, kehidupan mereka sangat bersahaja. Bahkan
suku asli Paser cenderung pemalu. Mereka lebih memilih untuk hidup menjauh dari
keramaian, masuk ke hutan, hidup berladang dan sebagainya.
Suku Paser memiliki adat
menghormati tamu dengan sebaik-baiknya. Kalau sudah ada janji untuk bertemu,
maka mereka akan meluangkan waktu mereka untuk menunggu dan menyambut tamu
mereka sampai tamu yang dimaksud datang, bahkan meskipun hingga larut malam. Ada
tradisi unik yang dilakukan mereka untuk menyambut tamu, salah satunya adalah
ketika mereka menyambut tamu yang “sederajat” maka mereka akan menawarkan rokok
kepada sang tamu. Yang unik adalah rokok tersebut terbuat dari daun nipah muda
yang dikeringkan kemudian diisi dengan rajangan tembakau kering racikan mereka
sendiri. Dahulu, mereka akan menyambut tamu dengan tari-tarian adat mereka jika
tamu yang datang adalah tamu yang mereka hormati.
Dan satu lagi, dalam adat mereka,
tamu tidak akan dibiarkan “kelaparan”. Maksudnya, jika memang sudah waktunya
makan, tamu akan disilakan ikut makan dengan tuan rumah dan itu merupakan suatu
keharusan bagi sang tamu untuk “menyantap” hidangan yang mereka sediakan. Tradisi menyantap itu pun ada yang unik. Yakni
dapat dilakukan dengan isyarat menyentuh makanan tersebut. Jadi jangan takut
kalau memang sudah kenyang atau buru-buru mau pergi ketika diajak makan, bisa
dengan isyarat menyentuh setiap jenis makanan yang disediakan itu dianggap
sudah “menyantap” bagi warga Suku Paser. Bagi yang menolak, konsekuensinya bisa
terjadi “kepuhunan” atau dalam bahasa mereka disebut “tapen” atau mungkin dalam
istilah jawa adalah “sawanen”. Bedanya, untuk di Suku Paser ini semua orang
bisa mengalami “tapen” tidak pandang usia.
Kami sempat disuguhi musik dan
tarian ronggeng khas Suku Paser sebelum pulang. Sekalian untuk dokumentasi seru
juga. Uniknya, Pak Cali, yang sudah berumur 70-an tahun masih dengan terampil
memainkan gambus, semacam gitar mereka dengan irama khas melayu dan paser. Memang
dalam berbagai hal, suku Paser ini banyak dipengaruhi oleh tradisi islam dan
melayu dari para pedagang yang waktu itu berdagang di Teluk Balikpapan ini.
Kembali ke HLSW, di sana kami
melanjutkan interview dengan Pak Agus
mengenai adat istiadat Suku Paser. Kami ditunjukkan beberapa hasil kerajinan
asli Suku Paser dan beberapa perlengkapan untuk kegiatan ritual adat. Di lingkungan
yang telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung tersebut, kearifan budaya
Suku Paser masih terjaga. Dengan kebersahajaan mereka, mereka turut menjaga
kelestarian lingkungan HLSW yang selain menjadi paru-paru bagi kawasan di
Balikpapan dan sekitarnya dengan berbagai satwa yang selalu dipantau oleh para
petugas di HLSW seperti Pak Agus, HLSW ini juga memegang peranan penting dalam
keberlangsungan produksi Kilang Pertamina Balikpapan. Karena dengan terjaganya
kelestarian hutan di HLSW tersebut, cadangan air tanah untuk kebutuhan proses
senantiasa terpenuhi.
Pak Agus yang memang telah lama
aktif dalam mengupayakan pelestarian budaya Suku Paser juga ikut menjadi
pelopor dalam pelestarian kawasan hutan lindung dengan berbagai aneka satwanya.
Sebagaimana yang telah dibuat di km. 23, yakni Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup yang di dalamnya terdapat beberapa ekor beruang madu, di HLSW tersebut juga masih menyimpan potensi satwa yang beberapa
di antaranya jumlahnya semakin langka di HLSW. Salah satu satwa yang menjadi
fokus perhatian Pak Agus dan kawan-kawan di HLSW tersebut adalah merak kerdil.
Mereka mengidentifikasi keberadaan salah satu unggas tersebut dengan suaranya.
Pak Agus dan kawan-kawan tahu betul berbagai jenis suara burung yang ada di
HLSW tersebut. Kami sempat ditunjukkan salah satu software yang menyimpan
berbagai informasi mengenai burung lengkap dengan gambar dan suaranya sehingga
hal itu dapat membantu mereka dalam memantau satwa khususnya burung yang ada di
HLSW.
Mengenai hasil penelitian tentang
Suku Paser, mungkin lain waktu akan lanjut dibahas kembali menunggu hasil karya
tulis selesai serta beberapa video dokumentasi kami compile terlebih dahulu. Itulah
sedikit cerita yang akhirnya membuat aku ingin kembali ke HLSW lagi untuk bisa
menikmati suasana yang asri dan tenang, dengan aroma hutan yang khas, kicauan
burung yang menenangkan, dan masih banyak cerita yang ingin aku dengar dari
teman-teman yang aktif di berbagai pos pemantauan HLSW tersebut.
2 komentar :
Buen,, thanks gan sudah menulis tentang suku paser balik yang ada di sungai wain...
sip bro, senang kalau bisa bermanfaat, kalau ada saran kritik silakan disampaikan, atau mungkin bro Fadliansyah AR memiliki data yang lebih lengkap mengenai Suku Paser Balik. Saya siap menampung informasinya :)
Posting Komentar